Blokade Politik

Amas Mahmud.

PILPRES 2024 telah di depan mata. Tutup buka koalisi untuk mengusung Capres dan Cawapres yang akan dikontestasikan dalam Pemilu 2024 mulai dilakukan. Elit partai politik mulai running dalam komunikasi politiknya. Simulasi pasangan calon dilakukan.

Lembaga survei juga mulai aktif melakukan pembangunan opini. Ya, secara garis besarnya semua pihak yang berkepentingan pasang kuda-kuda. Ada yang jual kecap, ada yang tebar ancaman, dan ada pula yang menawarkan solusi.

Bahkan ada Lembaga survei yang nyaris tiap harinya memproduksi hasil risetnya. Publik seperti dikepung dengan segala macam data survei, data yang masing-masing menempatkan figur atau calon Presiden dan calon Wakil Presiden mana yang memiliki elektabilitas tinggi.

Adu kuat tercipta. Kecenderungan dan probabilitas-probabilitas dilahirkan atas bacaan, analisis terhadap kekuatan politik. Persaingan mempertaruhkan nama baik Lembaga survei juga pasti terjadi. Jika prediksinya tidak akurat, kurang presisi, maka kepercayaan publik terhadap Lembaga tertentu melorot.

Variatif strategi yang diusung tiap-tiap partai politik. Ada yang membuka pintu koalisi, ada pula yang melakukan blokade politik terhadap bakal calon tertentu. Kita saksikan seperti ada skema figur kandidat pemimpin tertentu di tempatkan sebagai musuh bersama ‘’common enemy’’.

Di satu sisi kita mengerti bahwa dalam seleksi kepemimpinan tidak semata pertarungan taktik. Lebih dari itu adalah terkait takdir atau nasib yang telah ditetapkan Tuhan. Keragaman warna warni dan pertentangan politik yang terjadi di publik tetaplah dimaknai sebagai dinamika demokrasi.

Para elit politik juga melakukan check and balances atas kekuatannya. Evaluasi dilakukan secara ekstra. Tentu kepentingannya untuk menargetkan kemenangan dalam kontestasi Pemilu 2024. Kita mengenal pertarungan politik dengan istilah koalisi dan oposisi. Pada tataran high politics perbedaan pilihan, perbedaan posisi itu wajar.

Selanjutnya 1 2

Komentar

Loading...