50 Tahun KNPI: Ikhtiar Menyongsong Bonus Demografi

PADA tengah malam buta, Kamis, 16 Agustus 1945, sekitar pukul 03.00, sejumlah pemuda menculik Soekarno dan Mohammad Hatta ke Rengasdengklok, Karawang. Penculikan dilakukan agar kedua Ketua dan Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) itu tidak "terprovokasi" Jepang tentang pengumandangan kemerdekaan Indonesia.

Sekitar 17 tahun sebelumnya, tepatnya 28 Oktober 1928, sejumlah pemuda dari berbagai daerah dan kelompok berhimpun dan sepakat bersatu yang ditandai dengan terbitnya ikrar Sumpah Pemuda: kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Dua kisah di atas merupakan sepenggal epos tentang peran sentral pemuda dalam membangun bangsa ini, terutama merebut kemerdekaan. Signifikannya dampak yang dihasilkan dari gerakan pemuda, tidak heran jika kemudian Soekarno dalam sebuah pidato menyampaikan, "Beri Aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya ... Beri Aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia."

Gerakan kepemudaan di Indonesia terus melanjutkan estafetnya pada era modern. Untuk menumbuhkan, meningkatkan, dan mengembangkan kesadaran sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sejumlah organisasi kepemudaan (OKP) yang tergabung dalam kelompok Cipayung mendeklarasikan pembentukan Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) di Jakarta, 23 Juli 1973.

People come and go; setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya. Adagium ini secara tersirat mengajarkan tentang perjalanan hidup manusia: lahir dan berkembang dari bayi, anak-anak, remaja, dewasa, tua, dan mati.

Pemuda menjadi salah satu fase penting bagi kehidupan manusia. Ia memiliki karakter berani, menyukai tantangan, kreatif, pekerja keras, dan inovatif. Bahkan, menurut Mukhlish Muchad (2007), pemuda satu identitas yang potensial. Kedudukannya strategis sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber insani bagi pembangunan bangsanya.

Karakter tersebut tumbuh berkat pergolakan yang pernah dialami dan tengah dirasakan. Berbagai pengalaman tersebut memandunya untuk melangkah seperti apa yang diharapkannya.

Indonesia kini mengalami bonus demografi, proporsi usia pekerja, yang didominasi pemuda, lebih melimpah daripada usia nonproduktif. Diproyeksikan berlangsung hingga 2030. Berdasarkan data Ditjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri, jumlah penduduk Indonesia sebanyak 275,36 juta jiwa per Juni 2022.

Dari jumlah itu, sebesar 190,83 juta jiwa (69,3%) penduduk masuk kategori usia produktif (15-64 tahun). Adapun 84,53 juta jiwa (30,7%) sisanya kategori usia tidak produktif: 67,16 juta jiwa (24,39%) berusia 0-14 tahun dan 17,38 juta jiwa (6,31%) usia 65 tahun ke atas.

Bonus demografi menjadi momentum bagi Indonesia untuk bergerak cepat menuju kemajuan, termasuk merealisasikan visi Indonesia Emas 2045. Kesempatan baik ini bisa terlaksana dengan baik jika seluruh sumber daya, potensi, dan daya upaya pemuda dikerahkan seoptimal mungkin.

Diperlukan SDM berkualitas agar semua potensi tersebut bisa optimal dikeluarkan. Ini, menurut mantan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Fasli Jalal, merupakan satu dari empat syarat yang diperlukan agar Indonesia tidak kehilangan momentum. Ketiga syarat lainnya kelompok pemuda terserap di pasar kerja, memiliki tabungan rumah tangga, dan kebijakan afirmasi perempuan dalam pasar kerja.

Di atas kertas, keempat syarat tersebut mudah dituliskan. Namun, tidak dalam praktiknya. Masih banyak generasi muda yang belum mendapatkan pekerjaan. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran di Indonesia per Februari 2023 sebesar 7,99 juta orang.

Selanjutnya 1 2

Komentar

Loading...