Memaknai Fenomena Polusi Budaya

Tradisi Lompat Batu dari Kepulauan Nias.

DALAM pidato kenegaraan di hadapan anggota MPR, DPR dan DPD RI di Gedung Nusantara, Rabu (16/8), Presiden Jokowi mengungkap persoalan “polusi di wilayah budaya”. Hal ini perlu menjadi perhatian serius bagi kita dalam menatap 78 tahun kemerdekaan Republik Indonesia.

Sebab, dalam kehidupan yang semakin terhubung dan global, polusi tidak lagi hanya merujuk kepada kerusakan lingkungan fisik. Namun juga sudah merasuki wilayah budaya. Merusak keaslian dan keunikan budaya yang diwariskan dari generasi ke generasi.

Maka, menjadi sangat menarik mencermati fenomena "polusi budaya" yang diangkat dalam pidato kenegaraan Presiden Jokowi.

Menurut Koentjaraningrat (2000), kebudayaan, dengan kata dasar budaya, berasal dari bahasa sansakerta "buddhayah". Yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti "budi" atau "akal".

Koentjaraningrat mendefinisikan budaya sebagai "daya budi" yang berupa cipta, karsa dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.

Sementara itu, menurut KBBI, polusi adalah pengotoran atau pencemaran tentang air, udara dan sebagainya. Dari arti tersebut, polusi memiliki berbagai macam bentuk, seperti polusi udara, polusi air, polusi tana dan sebagainya.

Dengan demikian, istilah "polusi budaya" bisa diartikan sebagai sebuah konsep yang mencerminkan dampak negatif dari pertukaran budaya yang tidak seimbang dan dominasi budaya global.

Ibarat polusi pada kondisi fisik lingkungan, seperti polusi udara yang mencemari lingkungan alami, polusi budaya mencemari keberagaman budaya dan identitas lokal. Dengan pertumbuhan teknologi dan media massa, budaya global dapat dengan mudah menyebar ke seluruh penjuru dunia, meresap ke setiap aspek kehidupan masyarakat.

Dalam proses ini, elemen-elemen budaya lokal seringkali tersingkirkan atau diabaikan. Akibatnya, keberagaman yang telah ada selama berabad-abad menjadi terancam.

Fenomena polusi budaya berimplikasi pada persoalan kehilangan identitas nasional serta perubahan nilai dan norma di tengah kemajemukan Masyarakat Indonesia. Kehilangan identitas budaya merupakan kondisi yang menyentuh hati dan jiwa suatu masyarakat.

Ketika akar-akar budaya mereka mulai terancam oleh arus globalisasi yang menggempur. Seperti ombak yang perlahan mengikis pantai, pengaruh luar yang terus mengalir masuk dapat meruntuhkan fondasi nilai-nilai, tradisi dan norma-norma yang selama ini menjadi perekat komunitas bangsa Indonesia.

Di tengah lautan informasi dan teknologi, masyarakat sering kali berada dalam dilema antara memertahankan akar budaya mereka yang kaya atau mengikuti aliran budaya global yang menggoda. Pertanyaan esensial tentang siapa mereka sebenarnya dan bagaimana mereka ingin dikenal di dunia ini menjadi semakin rumit.

Suara-suara leluhur yang pernah memberi makna dan tujuan hidup tampak semakin redup dalam sorotan lampu kilauan modernitas. Perlahan tapi pasti, pusaka-pusaka budaya yang dulu diwariskan dari generasi ke generasi menjadi terlupakan.

Tradisi kuno entitas etnis nusantara yang pernah memupuk persatuan dalam masyarakat, sekarang mungkin hanya berdiam diri di lembaran-lembaran buku sejarah. Pakaian tradisional yang memiliki arti dan nilai mendalam diabaikan demi tren mode global yang cepat berubah.

Selanjutnya 1 2

Komentar

Loading...